Dahulu kala, ketika waktu belum tercatat pada kalender, bangsa Austronesia, induk dari bangsa-bangsa yang menghuni kawasan Asia Tenggara, mata pencaharian utamanya adalah bercocok tanam. Matahari tropis yang memungkinan berbagai jenis tanaman tumbuh dengan amat sangat baik, curah hujan yang begitu cukup, tanah yang subur, letusan-letusan gunung berapi yang membuat lahan malah bertambah gembur, membuat mereka cocok dengan dunia pertanian. Pertanian menjadi produk kebudayaan yang sangat diandalkan dalam mempertahankan keberlangsungan hidup. Di situ ada lahan pertanian, maka di situlah kehidupan.
Begitupun masyarakkat Sunda tempo dulu, suku bangsa yang masih berinduk pada kebudayaan Austronesia itu. Karena begitu pentingnya dunia pertanian, maka bercocok tanam bagi masyarakat Sunda bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi belaka, bukan untuk kepentingan dagang. Bukan semata-mata untuk memperkaya diri. Bertani malah dianggap sebagai ritual untuk berinteraksi langsung dengan pencipta alam semesta. Oleh sebab itu, mereka memperlakukan tanah dengan demikian khidmat. Upacara-upacara adat pun bisa digelar selama tujuh hari tujuh malam setelah panen, sebagai ekspresi dari rasa syukur. Ketika tanah diperlakukan sedemikian oleh mereka, maka tanah pun memberikan segalanya, sebagaimana ibu terhadap anak-anaknya.
Tanah Sunda, yang sampai saat ini kesuburan tanahnya tetap menjanjikan bagi para petani, memang lazim diidentikan dengan perempuan. Kesuburan tanah disejajarkan dengan produktivitas rahim perempuan. Dari pelbagai carita pantun, wiracarita warisan kebudayaan Sunda kuna, dewi kesuburan, Dewi Sri, lebih menonjol daripada dewa perang. Panorama yang masih serba hijau di akhir abad ke-20, sisa-sisa kerja para leluhur, membuat penyair modern Ramadhan K.H ketika melihat Tanah Sunda dalam sajak yang ditulisnya sebagai Priangan Si Jelita, cantik dan memesona.
Namun entah mengapa, setelah masyarakat kita akrab dengan bangku sekolahan, ada perubahan signifikan tentang citra dunia pertanian itu. Sikap hormat pada dunia pertanian sepertinya makin menyusut. Anak-anak SD ketika ditanya apa cita-cita mereka, lazimnya mereka menyebut profesi seperti dokter, pilot, polisi, pembalap, guru, tentara, atlit sepak bola, pramugari, polwan. Anak-anak yang lahir di negara agraris ini seakan-akan konyol jika bercita-cita ingin jadi petani? Begitupun ketika kita mengajukan pertanyaan tentang hobi. Jarang ada di antara mereka yang akan mengatakan bahwa hobinya pergi ke kebun. Ini menandakan pikiran mereka sudah tercerabut dari latar belakang budayanya, dari dunia cocok-tanam itu, bahkan sedari duduk di bangku SD?
Bercocok tanam memang perlu ada kerelaan untuk mau bergelut dengan debu dan lumpur. Bagi sebagian orang, hal itu dianggap kendala serius. Kotor menimbulkan kesan hina. Padahal kita tahu ada kegiatan-kegiatan lain, profesi-profesi lain, yang juga menuntut hal serupa namun tak pernah kurang peminatnya. Sepak bola, yang konon merupakan olah raga paling diminati masyarakat dunia, membuat para pemainnya karib dengan debu dan lumpur. Motor trail yang dianggap keren pun membuat penunggangnya dekil-dekil. Bahkan latihan militer kerap membuat para tentara harus berjibaku di genangan lecek. Saya ingat bunyi slogan dari sebuah iklan sabun: kotor itu baik.
Masalahnya tentu bukan karena kotor atau tidak kotor yang membuat anak-anak kita merasa tak pantas menautkan cita-citanya pada dunia pertanian. Bahkan tidak walau hanya untuk jadi sekedar hobi. Citra tentang dunia cocok tanam di zaman sekarang tidak begitu baik, tidak bergengsi. Tidak elit. Dianggap tidak intelek.
Barangkali, pengalaman kita di dunia pendidikan turut berpengaruh terhadap sikap anak-anak. Mata pelajaran yang terus-menerus memonopoli konsentrasi para pelajar dari mulai sekolah tingkat dasar hingga tinggkat atas bukanlah ilmu pertanian. Lalu pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, universitas serta prodi-prodi yang menonjolkan wacana teknologi jauh lebih diminati daripada universitas serta prodi-prodi yang menonjolkan wacana pertanian. Oleh sebab itu, wajar apabila dunia pertanian itu makin terabaikan. Lahan-lahan pertanian tidak digarap. Oleh sebab itu wajar apabila hampir setiap tahun negara yang masih dikatakan agraris ini sering mengalami krisis pangan, beras miskin harus dibagikan, sampai-sampai muncul peristiwa beras plastik. Tapi apapun yang terjadi, wacana tentang dunia cocok tanam di lingkungan masyarakat agraris ini semakin terasing, dimulai dari buku catatan anak sekolahan.
Apabila sekolah membuat generasi penerus kita memandang hina dunia pertanian, menganggap diri mereka terlalu agung untuk bergaul dengan petani, sebaiknya sekolah itu dibubarkan saja, ujar Tan Malaka dalam Madilog. Bukan berarti Tan Malaka menganggap pendidikan dari sekolah formal tidak ada manfaatnya sama sekali. Tan Malaka sendiri dapat berpikir seperti itu setelah dirinya cukup mendapat pendidikan, setelah dirinya menyerap buku-buku, setelah dirinya menjadi pendidik dan pada akhirnya mendirikan sekolah. Hanya saja, mungkin ia merasa jengah ketika melihat tingkah-polah sebagain besar anak sekolahan yang menganggap remeh dunia cocok tanam. Kepongahan mereka ini jadi semacam virus yang lantas menular ke mana-mana, menghinggapi pikiran siapa saja. Itulah yang mungkin membuatnya geram.
Dunia pertanian setelah memasuki era modern mungkin hampir sama nasibnya dengan budaya tradisi. Potensial namun dibiarkan terbengkalai. Hanya diminati generasi usia senja. Terkesan buram. Dan garpu hampir malam. Dan cangkul hampir malam. Parang hampir malam. Selamat malam.***
Penulis: Deri Hudaya (Koordinator Belajar Nyumbang Oksigen Komunitas Ngejah)
0 comments:
Post a Comment