Sudah lazim, jika seseorang bepergian ke tempat yang jauh, ke luar kota atau pun ke luar negeri, pesan pertama dari orang-orang terdekat, baik teman atau pun keluarga, diluar mengatakan hati-hati di jalan serta mendoakan selamat sampai tujuan, adalah: jangan lupa oleh-olehnya ya. Oleh-oleh menurut KBBI adalah sesuatu yang dibawa dari bepergian atau dalam arti lain yaitu buah tangan. Membawa oleh-oleh, sudah seperti menjadi keharusan bagi masyarakat Indonesia yang bepergian ke tempat yang jauh. Berbicara oleh-oleh, pada umumnya orang akan teringat makanan, pakaian atau pernak-pernik khas dari kota yang dikunjungi. Semisal jika berkunjung ke Garut, oleh-olehnya berupa dodol. Jika berkunjung ke Bandung, oleh-olehnya Peuyeum. Jika berkunjung ke Makasar, oleh-olehnya kain tenun atau sarung khas bugis. Jika berkunjung ke Bali, oleh-olehnya kaos joger. Prinsipnya, membeli oleh-oleh adalah barangnya harus unik atau istimewa serta diusahakan menggambarkan sesuatu yang cuma ada di tempat tersebut.
Namun untuk orang-orang tertentu yang memiliki kebiasaan membaca atau kesadaran akan pentingnya membaca relatif kuat, oleh-oleh tak sekedar atau harus melulu berupa makanan, pakaian dan juga pernak-pernik, melainkan juga akan menyelipkan malahan utuh berupa buku. Seperti yang dilakukan oleh Eka Kurniawan, sang pengarang novel Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan O. Melalui blognya, saya ketahui bahwa setiap pergi ke manapun, Eka selalu menyempatkan diri pergi ke toko buku. Tentu saja bukan hanya sekedar masuk, namun membeli dan menjadikan buku tersebut sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang. Hal yang sama dilakukan jua oleh seorang penyair kenamaan asal Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor. Hal itu saya ketahui, saat saya menyaksikan beliau membeli beberapa buku selepas kegiatan Kongres Bahasa Sunda X di Kuningan, tahun 2016, sebagai buah tangan untuk di bawa pulang ke rumahnya.
Menjadikan buku sebagai oleh-oleh seharusnya bukan hanya dilakukan oleh seorang pengarang terkenal, akan tetapi harus menjadi kebiasaan semua orang yang memiliki kesadaran akan pentingnya membaca, termasuk pegiat literasi atau pengelola TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Jangan sampai pegiat literasi/TBM distempel hanya sekedar pengumpul bantuan buku atau dalam arti lain pengumpul buku-buku gratis. Oleh sebab itu, jiwa mengapresiasi para penulis dengan membeli bukunya, memiliki keinginan untuk selalu menjadi orang pertama membaca buku baru, memiliki harapan produksi buku tanah air meningkat, harus tumbuh dalam setiap jiwa para pegiat literasi/TBM. Menjadikan buku sebagai oleh-oleh, adalah salahsatu bentuk kampanye akan pentingnya membaca. Dengan membawa oleh-oleh berupa buku, orang-orang terdekat, baik teman ataupun keluarga, akan semakin paham bahwa buku merupakan sesuatu yang istimewa. Secara tidak langsung dengan membawa menjadikan buku sebagai oleh-oleh, kita sedang melakukan kampanye pentingnya membaca.
Berpijak pada kesadaran di atas, setiap kali bepergian, saya berusaha menyelipkan buku sebagai oleh-oleh untuk teman-teman relawan serta anggota Komunitas Ngejah, walaupun bukan untuk mereka miliki, namun untuk mereka baca hingga apa yang ada di dalamnya menjadi pengetahuan bersama, dan mudah-mudahan tak berakhir sebatas sebagai pengetahuan saja. Hal demikian, saya lakukan jua ketika mengikuti pertemuan persiapan kampung literasi bagi para pengelola TBM/Komunitas Literasi se-Indonesia yang digelar di Yogyakarta (22-24 Feb 2017). Setelah kegiatan selesai saya berkunjung ke di Radio Buku. Di sana, selain ada buku-buku koleksi bacaan Radio Buku yang dibaca atau dipinjam oleh para pengunjung, ada juga sederet buku baru yang dijual. Dari sederet buku menarik yang ada di sana, saya kemudian membeli dua buku yang berjudul Aku dan Buku #2 (Perempuan-perempuan yang mencintai buku) serta Aku dan Buku #3 (Yang menulis yang mencintai buku).***NTA
Why visitors still use to read news papers when in this technological world all is available on web?
ReplyDelete