Puisi untuk Negeri begitulah nama kegiatan yang kami (Komunitas Ngejah) usung sebagai agenda tahunan dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Sampai tahun 2014, bentuk kegiatan Puisi untuk Negeri kami laksanakan dengan cara mengajak anak-anak yang berdomisili di Kampung Sukawangi dan sekitarnya, serta para relawan Komunitas Ngejah untuk menulis puisi dengan tema perjuangan dan kemerdekaan, kemudian membacakannya secara bergiliran. Biasanya 50-100 anak-anak dan relawan yang didominasi oleh para pelajar dan santri larut dalam kemeriahan, memenuhi saung Komunitas Ngejah terlibat dalam kegiatan tersebut.
Tahun ini, kemeriahan Puisi untuk Negeri semakin menjadi. Alasannya adalah, para peserta kegiatan bukan hanya datang dari kalangan pelajar dan santri, melainkan seluruh lapisan warga Desa Sukawangi. Baik itu petani, tukang ojeg, guru, kepala desa, dll. Jika biasanya kegiatan dilakukan di saung Komunitas Ngejah, untuk tahun ini sebuah panggung khusus yang cukup besar kami sediakan. Posisi panggung yang berada di pinnggir jalan, sontak menarik perhatian warga untuk berduyun-duyun datang menyaksikan kegiatan tersebut.
Hal lainnya yang berbeda pada perayaan kemerdekaan tahun ini, yakni adanya kerjasama dengan Ikatatan Pemuda Pemudia Sukawangi serta seluruh organisasi kepemudaan yang berada di Desa Sukawangi, serta dengan pemerintahan desa. 70 Puisi sengaja disediakan untuk 70 warga. Puisi-puisi yang bertemakan perjuangan dan kemerdekaan dari penyair tanah air sengaja dipilih oleh Deri Hudaya, pemuda asal Sukawangi yang sedang menyelesaikan pendidikan magisternya di salahsatu Perguruan Tingggi Negeri, di Bandung.
Suasana pembacaan puisi di tengah-tengah masyarakat Kampung Sukawangi tentu saja tak sehidmat ketika disuguhkan pada panggung-panggung perlombaan yang digagas oleh komunitas-komunitas seni di perkotaan atau pada diskusi sastra yang diselenggarakn oleh komunitas sastra di kampus. Ketika pembacaan berlangsung, tak jarang terdengar gemuruh penonton yang ngalelewean atau seuseurian. Namun semuanya dibiarkan mengalir, alami. Namun hal ini tentu sajak tidak mengurangi harapan kami, bahwa melalui kegiatan Puisi untuk Negeri akan terbit pengetahuan masyarakat tentang keberadaan puisi yang memotret peristiwa demi peristiwa perjuangan rakyat negeri ini, dan selanjutnya pengetahuan tersebut berkembang sampai pada wilayah penghayatan. Meski begitu, dari 70 pembaca, ada juga beberapa diantaranya yang mampu memberikan getaran yang cukup kentara, sehingga penonton terbius suasana puisi. Suasana menjadi hening. Tak ada lagi suara yang ngalelewean atau seuseurian. Semua larut menyimak pembacaan puisi. Tiga dari sekian pembaca yang cukup baik, yang mampu membius penonton larut ke dalam puisi itu adalah (1) Rini Nurani, ketua penggerak PKK Desa Sukawangi, (2) Lia, ibu dari tiga orang anak, warga Kampung Sukawangi, dan (3) Agus Awaludin, Ketua Ikatan Pemuda Pemudi Sukawangi. Pembacaannya cukup serius, menunjukan vocal, artikulasi serta ekspresi yang cukup memukau. Dalam kesempatan ini, Agus Awaludin yang mempersiapkan diri sejak empat hari sebelum kegiatan, memilih membacakan puisi yang berjudul Peringatan karya Widji Tukul. Sebuah puisi perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintahan pada rezim orde baru. Berikut saya tulis puisinya:
Widji Tukul
Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Selain pembacaan puisi, Puisi untuk Negeri juga menampilkan drama pendek oleh kawan-kawan Ngejah Junior asuhan Vita Sizu. Mereka memberi judul drama tersebut ‘Bersatunya Bambu Runcing’. Lima orang anak yang terdiri dari Mila, Qaila, Hasna, Annaba dan Sifa tampil dihadapan ratusan mungkin ribuan penonton tanpa canggung. Pesan dari drama tersebut dalam pengamatan saya yakni berbicara keampuhan bambo runcing, bukan dalam ketajaman bambunya namun dalam persatuan dan tekad yang kuat dari rakyat Republic Indonesia untuk lepas dari penjajahan. ***NTA
0 comments:
Post a Comment